Minggu, 07 Oktober 2012

Good Governance


Kewarganegaraan


Penerapan Prinsip Good Governance pada Sektor Publik

Penerapan sembilan prinsip good governance hendaknya dapat diterapkan diseluruh sektor pembangunan, dengan memerhatikan agenda kebijakan pemerintah untuk beberapa tahun mendatang yang perlu disesuaikan dan diarahkan kepada:

   1. Stabilitas moneter, khususnya kurs dolar AS (USD) hingga mencapai target wajar, dan stabilitas harga kebutuhan pokok pada tingkat yang terjangkau. 
    2. Penanganan dampak krisis moneter, khususnya pengembangan proyek padat karya untuk mengatasi pangangguran dan percukupan kebutuhan pangan bagi yang kekurangan.
    3. Rekapitalisasi perusahaan kecil dan menengah yang sebenarnya sehat dan produktif.
  4. Operasional langkah reformasi meliputi kebijaksanaan moneter, sistem perbankan, kebijakan fiskal, dan anggaran serta penyelesaian utang swasta dan restrukturisasi sektor riil.
  5. Melanjutkan langkah manghadapi era globalisasi, khususnya untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing ekonomi.

Di samping itu perlu juga diperhatikan adanya keberhasilan pembangunan aparatur negara dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik dalam era reformasi dewasa ini. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari seberapa jauh keberhasilan pencapaian tujuan reformasi sebagaimana tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1998, Bab III yang mencakup:
1. Mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya terutama untuk menghasilkan stabilitas moneter yang tanggap terhadap pengaruh global dan pemulihan aktivitas usaha nasional.
2. Mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui perluasan dan peningkatan partisipasi politik rakyat secara tertib untuk menciptakan stabilitas nasional.
3. Menegakkan hukum berdasarkan nilai kebenaran dan keadilan, hak asasi manusia menuju terciptanya ketertiban umum, dan perbaikan sikap mental.
4. Meletakkan dasar-dasar kerangka dan agenda reformasi pembangunan, agama, dan sosial budaya dalam usaha mewujudkan masyarakat madani.

Sedangkan agenda aksi reformasi pemerintahan dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik di Indonesia menurut Bintoro Tjokroamidjojo (2000) adalah perlunya pengarahan terhadap beberapa hal pokok sebagai berikut:

1. Perubahan sistem politik ke arah sistem politik yang demokratis, partisipatif, dan egalitarian.
2. Reformasi dalam sistem birokrasi militer (TNI), dimana kekuatan militer harus menjadi kekuatan yang profesional dan independen, bukan menjadi alat politik partai atau kekuasaan pemerintah (presiden), yang mendudukkannya sebagai kekuatan pertahanan negara.
3. Reformasi dalam bidang administrasi publik perlu diarahkan pada peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah dalam rangka meningkatkan pengabdian umum, pengayoman, dan pelayanan publik.
4. Reformasi pemerintahan yang juga penting adalah perubahan dari pola sentralisasi ke desentralisasi, bukan dalam rangka separatisme atau federalisme.
5. Agenda aksi reformasi lain yang juga strategis adalah menciptakan pemerintah yang bersih (clean goverment) yang terdiri atas tiga pokok agenda, yaitu:

a. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dari praktik-praktik korupsi, kolusi, kronisme, dan nepotisme (KKKN).
b. Disiplin penerimaan dan penggunaan uang/dana rakyat, agar tidak lagi mengutamakan pola deficit funding dan menghapuskan adanya dana publik nonbudgeter.
c.   Penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas publik aparatur negara.

Penerapan good governance pada sektor publik tidak dapat terlepas dari visi masa depan Indonesia sebagai fokus tujuan pembangunan kepemerintahan yang baik. Pemerintah yang baik dapat dikatakan sebagai pemeritah yang menghormati kedaulatan rakyat dan memiliki tugas pokok yang mencakup:

1.  Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.  Memajukan kesejahteraan umum.
3.  Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4.  Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dipahami pula bahwa dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 telah ditetapkan visi masa depan Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun yang disebut Visi Indonesia 2020, yaitu: “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara.” Sedangkan pada Bab IV butir 9 ditegaskan bahwa baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara adalah mencakup:

1. Terwujudnya penyelenggaraan negara yang profesional, transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
2. Terbentuknya penyelenggaraan negara yang peka dan tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara termasuk daerah terpencil dan perbatasan; dan berkembangnya transparansi dalam budaya  dan perilaku serta aktivitas politik dan pemerintahan.

Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa bernegara. Dengan demikian, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan legitimate, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sejalan dengan hal tersebut, dan dalam rangka pelaksanaan ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negarayang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas kolusi, korupsi dan nepotisme sebagai tindak lanjut dan ketetapan MPR tersebut, telah diterbitkan instruksi Presiden  Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan. Dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan tentang asas-asas umum penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

Menurut penjelasan undang-undang tersebut, asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden berkewajiban mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan pemerintahan secara  periodik kepada MPR. Pertanggungjawaban Presiden tersebut merupakan akumulasi dari keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang perlu disampaikan pula kepada DPR atau DPRD.

Oleh sebab itu, Inpres Nomor 7 Tahun 1999 mewajibkan setiap instansi pemerintah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan negara mulai pejabat eselon II ke atas untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta kewenangan pengelolaan sumber daya dan kebijaksanaan yang dipercayakan kepadanya berdasarkan perencanaan strategis yang dirumuskan sebelumnya. Pertanggungjawaban dimaksud adalah:

1. Disampaikan kepada atasan masing-masing, kepada lembaga-lembaga pengawasan dan penilaian akuntabilitas yang berkewenangan, dan akhirnya kepada presiden selaku kepala pemerintahan.
2. Dilakukan melalui sistem akuntabilitas dan media pertanggungjawaban yang harus dilaksanakan secara periodik  dan melembaga.

Dalam rangka pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah tersebut, presiden menugaskan Kepala Lembaga Administrasi Negara untuk menetapkan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sebagai bagian dan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Dalam Surat Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 589/IX/6/Y/99, yang diperbarui oleh Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, diutarakan bahwa Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara periodik. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah pada pokoknya adalah instrumen yang digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi, terdiri atas berbagai komponen yang merupakan satu kesatuan, yaitu perencanaan strategis, serta perencanaan, pengukuran kinerja, dan pelaporan kinerja. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah dokumen yang berisi gambaran perwujudan LAKIP yang disusun dan disampaikan secara sistematik dan melembaga. LAKIP bermanfaaat antara lain untuk:

1. Mendorong instansi pemerintah untuk menyelenggarakan tugas umum pemerintah dan pembangunan secara baik dan benar (good governance) yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijaksanaan yang transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Menjadikan instansi pemerintah lebih akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya.
3. Menjadi masukan dan umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka meningkatkan kinerja instansi pemerintah.

dari berbagai sumber